Beranda | Artikel
Birrul Walidain dan Menyambung Silaturahim
Kamis, 12 Maret 2020

Bersama Pemateri :
Syaikh `Abdurrazzaq bin `Abdil Muhsin Al-Badr

Birrul Walidain dan Menyambung Silaturahim adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan kitab التبيان في شرح أخلاق حملة القرآن (At-Tibyaan fi Syarh Akhlaq Hamalatil Qur’an). Pembahasan ini disampaikan oleh Syaikh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin Al-‘Abbad Al-Badr pada 7 Rajab 1441 H / 02 Maret 2020 M.

Kajian Islam Ilmiah Tentang Birrul Walidain dan Menyambung Silaturahim

Kita lanjutkan bab yang berkaitan tentang akhlak pengemban Al-Qur’an. Beliau mengatakan bahwa seorang pengemban Al-Qur’an tidak mencari nafkah dengan cara menjual Al-Qur’an. Yaitu dia tidak menjadikan Al-Qur’an sebagai alat yang digunakan untuk mencari harta dengan cara ia menampakkan dirinya bahwasanya ia mempunyai pemahaman tentang Al-Qur’an.

Ia tidak senang untuk ditunaikan kebutuhan-kebutuhannya dengan Al-Qur’an. Maksudnya dia tidak suka untuk menunaikan hajatnya dengan Al-Qur’an. Seperti dimurahkan ketika ia membeli sesuatu atau bahkan digratiskan ataupun sejenisnya. Karena sesungguhnya kedudukan Al-Qur’an pada dirinya lebih mulia daripada hal yang demikian.

Ia tidak mendatangi anak-anak para raja dan tidak duduk bersama dengan orang-orang kaya agar mereka memberikan sebagian dari harta mereka. Yaitu tujuannya bukan sekedar mendatangi anak-anak raja, orang-orang kaya untuk mendapatkan sebagian dari harta mereka. Namun jika pengemban Al-Qur’an/seorang dai mendatangi orang-orang kaya tersebut untuk memberikan mereka pelajaran, memberikan mereka manfaat, maka ini disyariatkan.

Jika seluruh manusia mendapatkan bagian yang banyak dari harta dunia tanpa ilmu, tanpa pengetahuan yang benar, seorang yang mempunyai ilmu Al-Qur’an atau pengemban Al-Qur’an mencukupkan diri dengan harta yang sedikit namun didapatkan dari ilmu dan pengetahuan yang benar.  Maksud penulis kitab ini Rahimahullah, jika manusia mendapatkan harta yang banyak namun harta tersebut didapatkan bukan dari ilmu yang benar, ia ridha terhadap dirinya dengan penghasilan yang sedikit namun dia dapatkan dari sumber yang halal yang tidak ada syubhat didalamnya.

Jika manusia memakai pakaian yang lembut, pakaian yang mewah, ia mencukupkan diri dengan pakaian yang halal yang cukup menutup auratnya. Maksudnya jika manusia saling berbangga-bangga, saling berlebih-lebihan dalam memakai pakaian dengan berbagai jenis model, seorang pengemban Al-Qur’an rela atau ridha dengan pakaian yang sederhana yang menutup auratnya.

Jika ia diberi keluasan, maka ia pun menafkahkan harta yang banyak. Namun jika dia disempitkan rejekinya maka dia pun berinfak sesuai dengan kemampuannya. Karena ia mempraktekkan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam FirmanNya:

لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ ۖ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّـهُ

Hendaklah orang yang diberi keluasan mengeluarkan dari keluasannya. Dan orang yang disempitkan rejekinya ia berinfak sesuai dengan apa yang Allah berikan kepadanya.” (QS. At-Talaq[65]: 7)

Ia selalu merasa puas dengan harta yang sedikit yang cukup untuknya. Karena sifat qana’ah (sifat merasa puas) adalah kekayaan yang sebenarnya. Adapun orang yang tidak punya rasa qana’ah/tidak punya rasa puas, seandainya dia diberikan harta sebanyak harta yang dimiliki oleh Qarun, maka ia tidak akan melihat bahwasanya harta tersebut cukup untuk kebutuhannya.

Ia selalu mawas diri, selalu waspada atas dirinya dari pengaruh dunia yang bisa membuatnya melampaui batas. Dia selalu mengawasi dirinya jangan sampai tertimpa penyakit berlebihan disebabkan oleh harta. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

كَلَّا إِنَّ الْإِنسَانَ لَيَطْغَىٰ ﴿٦﴾ أَن رَّآهُ اسْتَغْنَىٰ ﴿٧﴾

Sekali-kali tidak, sesungguhnya manusia akan melampaui batas jika ia merasa kaya.” (QS. Al-Alaq[96]: 6-7)

Ia selalu mengikuti kewajiban-kewajiban yang tertera dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Seorang pengemban Al-Qur’an senantiasa mengikuti Al-Qur’an dan sunnah dalam semua keadaannya. Semua yang diwajibkan di dalam Al-Qur’an dan sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ia selalu mengikuti dan menetapinya.

Ia makan dengan ilmu, minum dengan ilmu, memakai pakaian dengan ilmu. Yaitu seorang pengemban Al-Qur’an senantiasa mempelajari hukum-hukum yang berkaitan dengan makanan, minuman dan pakaian. Sehingga ia tidak makan, tidak minum dan tidak memakai pakaian kecuali yang halal. Dan apabila ia mendapati ada sesuatu yang haram, maka ia segera meninggalkannya.

Ia tidur dengan ilmu. Yaitu apabila ia mendatangi kasurnya ingin tidur, ia mengikuti sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika beliau tidur. Ia tidak tidur dengan cara yang dilarang oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan ia selalu menjaga wirid-wirid dan dzikir-dzikir yang berkaitan dengan tidur. Juga ia selalu menjaga adab-adab tidur sehingga tidurnya pun menjadi tidur yang berkah karena dibangun diatas sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Bahkan ia berhubungan badan dengan istrinya juga dengan ilmu. Yaitu dengan cara ia mengikuti adab-adab bergaul dengan istri. Dan apa yang dilarang oleh syariat seperti berhubungan badan ketika istri sedang haid atau mendatangi istri dari duburnya, maka ini adalah sesuatu yang dilarang oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan ia pun meninggalkannya karena perbuatan tersebut termasuk dosa besar.

Ia berteman dengan saudara-saudaranya dengan ilmu, ia pun mengunjungi mereka pun juga dengan ilmu. Yaitu ia senantiasa mengikuti adab-adab bergaul, adab-adab berteman. Dan apabila ia mengunjungi saudaranya, ia pun mengikuti adab-adab dan cara-cara berziarah yang diatur oleh syariat.

Ia meminta izin dengan ilmu. Maksudnya ia mengikuti adab-adab meminta izin ketika ia mendatangi rumah saudaranya. Ia memulai dengan mengucapkan salam sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

مَنْ بَدَأَ بِالْكَلَامِ قَبْلَ السَّلَامِ فَلَا تُجِيبُوهُ

“Barang siapa yang mulai mengajakmu berbicara sebelum memberi salam maka janganlah engkau jawab.”

Ia bertetangga dengan cara bertetangga yang dibangun diatas ilmu. Yaitu seorang pengemban Al-Qur’an senantiasa beradab dengan adab bertetangga yang diatur oleh syariat dan dianjurkan oleh syariat kita.

Berbakti kepada orang tuanya

Ia senantiasa berbakti kepada kedua orang tuanya. Di sini Imam Al-Ajurri Rahimahullah mulai menyebutkan perkara-perkara yang wajib dilakukan oleh seorang pengemban Al-Qur’an dari adab-adab dan akhlak yang berkaitan dengan kedua orang tua. Karena kedua orang tua adalah manusia dan orang yang paling berhak bagi kita semua untuk berbuat baik dan berbakti kepada mereka. Dan ketika ada seorang laki-laki bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

:مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قَالَ: أُمُّكَ، قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: ثُمَّ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: ثُمَّ أُمُّكَ، قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: ثُمَّ أَبُوكَ

“Siapakah orang yang paling berhak aku berbuat baik kepadanya? Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab: ‘ibumu’. Kemudian orang itu bertanya lagi: ‘Kemudian siapa?’ Nabi menjawab: ‘Ibumu.’ Kemudian ia bertanya lagi: ‘Kemudian siapa?’ Nabi menjawab: ‘Ibumu.’ Kemudian ia bertanya lagi:  ‘Kemudian siapa?’ Nabi menjawab: ‘Bapakmu.`” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ia selalu merendah kepada kedua orang tuanya, mengecilkan suaranya ketika berbicara kepada keduanya. Sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla:

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا ﴿٢٣﴾ وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُل رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا ﴿٢٤﴾

Dan Tuhanmu telah memerintahkan kepadamu, janganlah engkau menyembah kecuali hanya kepadaNya dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua. Apabila salah satu dari keduanya telah mencapai umur senja atau keduanya, maka janganlah kalian berkata kepada keduanya atau ‘ah’ dan janganlah kalian menghardik keduanya. Dan ucapkanlah perkataan yang lembut kepada keduanya. Dan merendahlah kepada keduanya karena kasih sayang dan berdoalah, ‘Wahai Tuhanku kasihanilah keduanya sebagaimana keduanya telah merawat aku sejak kecil.’” (QS. Al-Isra[17]: 24)

Ia selalu memberikan harta kepada keduanya. Dan pemberian ini harus diberikan dengan hati yang penuh dengan kerelaan. Bahkan seandainya ia butuh terhadap harta tersebut, hendaklah ia selalu mengingat kebaikan keduanya dan pemberian keduanya yang sangat banyak kepadanya. Dan diantara perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berkaitan dengan hal ini yaitu peringatan Allah kepada para anak:

حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا ۖ وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا

Ibunya telah mengandungnya dengan penuh kesulitan, melahirkannya dengan penuh kesulitan dan mengandungnya serta menyapihnya selama 30 bulan.” (QS. Al-Ahqaf[46]: 15)

Ia memandang kepada kedua orang tuanya dengan pandangan yang penuh penghormatan dan kasih sayang. Maksudnya seorang anak hendaklah ketika ia memandang kepada kedua orang tuanya ia gabungkan antara pandangan penghormatan dan pandangan kasih sayang. Terutama jika keduanya telah sampai umur yang senja yang mana panca indra mereka sudah mulai melemah, pandangan mereka sudah mulai lemah dan gerakannya pun sudah mulai loyo.

Ia selalu berdoa untuk keduanya agar Allah memanjangkan umur keduanya. Yaitu seorang anak ketika ia berbuat baik kepada kedua orang tuanya, ketika ia membantu kedua orang tuanya, jangan sampai ia merasa bosan, jangan sampai ia berharap ini berlepas diri dari kesulitan tersebut. Sebaiknya ia berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar Allah memanjangkan umur keduanya, supaya ia mampu untuk terus berbakti kepada keduanya dan terus berbuat baik kepada keduanya.

Ia selalu bersyukur kepada keduanya, terutama ketika keduanya mulai sudah tua. Sebagaimana perintah Allah Tuhan semesta alam, Allah berfirman:

أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

Hendaklah kalian bersyukur kepadaKu juga kepada kedua orang tuamu dan kepadaKu lah tempat kembali.” (Al-Luqman[31]: 14)

Ia tidak merasa sempit dengan kedua orang tuanya. Yaitu ia tidak menampakkan ketika ia bergaul dengan kedua orang tuanya ia tidak menampakkan rasa keberatan atau rasa tidak suka ketika ia melayani keduanya. Terutama ketika kedua orang tua sudah sangat tua, terkadang suara seorang bapak meninggai disebabkan karena pendengarannya sudah mulai lemah atau terkadang ia merasa terganggu dengan perkara yang sebenarnya orang lain tidak terganggu karena ia menderita berbagai macam penyakit. Maka seorang anak hendaklah tidak merasa sempit dengan kedua orang tuanya dengan sebab-sebab ini. Sebaliknya ia selalu berlemah lembut dan berbuat baik dengan cara yang terbaik kepada kedua orang tuanya.

Ia tidak menghina kedua orang tuanya. Seorang Muslim dilarang untuk menghina Muslim manapun. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ، لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ، وَلَا يَحْقِرُهُ،

“Seorang Muslim adalah saudara untuk Muslim yang lainnya, ia tidak mendzaliminya, tidak meninggalkannya dan tidak menghinanya.” (HR. Muslim)

Tentu dengan orang tua lebih dilarang lagi kita untuk merendahkan kedua!

Jika kedua orang tua meminta tolong untuk melakukan suatu ketaatan, maka hendaklah seorang anak menolong keduanya. Yaitu maksudnya jika kedua orang tua meminta bantuan, jika ia ingin melakukan satu ketaatan, hendaklah seorang anak membantu keduanya untuk melaksanakan ketaatan tersebut. Dan sebaliknya, jika keduanya meminta bantuan untuk melakukan sesuatu maksiat, maka seorang anak tidak boleh untuk membantu keduanya. Karena Allah Ta’ala berfirman:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

Dan saling tolong-menolonglah dalam kebaikan dan takwa dan janganlah kalian tolong-menolong untuk dosa dan permusuhan.” (QS. Al-Maidah[5]: 2)

Maka seorang anak tidak boleh untuk membantu kedua orang tuanya melakukan dosa dan juga tidak boleh mentaati keduanya untuk melakukan maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ

“Tidak ada ketaatan dalam maksiat kepada Allah, sesungguhnya ketaatan itu hanya pada perkara yang baik.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ia selalu lembut kepada kedua orang tuanya bahkan ketika dia diajak untuk bermaksiat. Ia tetap beradab dengan baik agar kedua orang tuanya kembali ke jalan yang benar dan meninggalkan apa yang diinginkan dari keburukan. Maksudnya adalah jika kedua orang tua meminta anaknya untuk membantunya melakukan maksiat, maka ia tidak mentaati keduanya. Akan tetapi tetap bagi seorang anak untuk berlemah-lembut kepada kedua orang tuanya dan tidak mengingkari keduanya dengan mengangkat suara, dengan cara yang kasar, dengan cara yang keras.

Contohnya apabila orang tuanya atau ayahnya meminta kepadanya untuk membeli sesuatu yang haram, maka ia tidak boleh mentaati ayahnya untuk bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Akan tetapi ia wajib untuk tetap berlemah lembut kepadanya karena ini adalah salah satu cara untuk membantu orang tuanya meninggalkan keburukan tersebut.

Dan apabila seorang anak selalu berlemah-lembut ketika bergaul dengan orang tuanya, maka ini akan menjadi sebab kedua orang tuanya meninggalkan perkara-perkara yang buruk yang mereka ingin lakukan. Sebaliknya, jika seorang anak bermuamalah dengan orang tuanya dengan cara yang kasar, dengan cara yang keras, maka ini akan menjauhkan jarak antara dia dan anggota keluarganya. Namun apabila ia selalu berlemah-lembut, bergaul dengan cara yang baik, maka insyaAllah ini akan menghasilkan buah yang baik juga.

Menyambung silaturahim

Ia selalu menyambung silaturahim dan membenci untuk memutuskan silaturahim. Dan ia tidak memutuskan orang yang memutuskan silaturrahim kepadanya. Maksudnya adalah seorang pengemban Al-Qur’an, jika ia menyambung silaturahim ia meyakini bahwasanya hal tersebut adalah ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, ia selalu mencari ridha Allah ‘Azza wa Jalla, bukan sekedar untuk membalas perbuatan orang yang menyambung silaturahim kepadanya dengan cara ia menyambung silaturahim kepada orang yang selalu bersilaturahim kepadanya dan memutuskan silaturahim kepada orang yang memutuskan rahim kepadanya. Namun sebagaimana yang tertera dalam hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

لَيْسَ الوَاصِلُ بِالمُكَافِئ، وَلكِنَّ الوَاصِلَ الَّذِي إِذَا قَطَعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا

“Bukanlah orang yang menyambung silaturahmi yaitu sekedar membalas, orang yang menyambung silaturahim sebenarnya adalah orang yang apabila diputuskan silaturahim kepadanya ia menyambungnya.” (HR. Bukhari)

Juga dari sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, diriwayatkan bahwasanya ada seorang laki-laki datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melaporkan dengan mengatakan, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya mempunyai kerabat yang aku menyambung silaturahim kepada mereka namun mereka memutuskannya, aku berbuat baik kepada mereka namun sebaliknya mereka berbuat jahat kepadaku, aku selalu sabar kepada mereka namun mereka melakukan perbuatan buruk kepadaku.”

Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:

لَئِنْ كُنْتَ كَمَا قُلْتَ فَكَأَنَّمَا تُسِفُّهُمُ المَلَّ، وَلا يَزَالُ معكَ مِنَ اللَّهِ ظَهِيرٌ عَلَيْهِمْ مَا دُمْتَ عَلَى ذَلكَ

“Jika benar engkau katakan, maka sebenarnya seakan-akan engkau sedang melemparkan pasir yang panas kepada mereka dan Allah Subhanahu wa Ta’ala akan senantiasa menjadi penolongmu selama engkau melakukan hal tersebut.” (HR. Muslim)

Makna dzahir dalam hadits ini adalah penolong dan pembantu. Yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala akan senantiasa membantumu jika engkau melakukan hal tersebut.

Jika ada orang yang bermaksiat kepadanya, ia tetap mentaati Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada orang tersebut. Maksudnya jika ada orang yang melakukan kesalahan dalam haknya, yaitu ia bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak mentaati Allah kepada orang tersebut, ia tidak balas bermaksiat kepada Allah kepadanya. Akan tetapi ia selalu bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mentaati Allah subhanahu wa Ta’ala dalam bergaul kepada orang lain. Ia selalu berteman dengan orang-orang beriman dengan ilmu, duduk dengan mereka dengan ilmu.

Jika ada orang yang bergaul dengannya ia selalu memberi manfaat kepadanya. Maksudnya adalah ia didalam berteman, didalam bergaul, ia selalu berusaha untuk memberi manfaat dan faedah kepada orang lain. Ia sangat jauh dari menyakiti dan mengganggu orang lain. Dan seorang tidak dikatakan berkah sampai ia memberi manfaat kepada orang lain yang berteman dengannya. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang Nabi Isa ‘Alaihis Salam:

وَجَعَلَنِي مُبَارَكًا أَيْنَ مَا كُنتُ

Dan Allah menjadikan aku penuh berkah dimanapun aku berada.” (QS. Maryam[19]: 31)

Ia selalu berbuat baik dengan orang yang duduk bersamanya. Karena ia selalu menjaga adab-adab syariat ketika ia bergaul dan berteman dengan orang lain. Ia selalu menjaga akhlak-akhlak yang mulia.

Jika ia mengajarkan sesuatu kepada orang lain ia selalu lembut kepadanya. Dan ini adalah salah satu pilar penting yang harus dijaga bagi orang yang mengajarkan Al-Qur’an kepada orang lain. Dan mengajarkan cara membaca Al-Qur’an kepada orang lain ia harus berlemah-lembut. Dan ia harus menjauhi sifat keras, sifat kasar, sifat kejam, terutama kepada anak kecil. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Yang Maha lembut dan suka kepada kelembutan. Juga Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِنَّ الرِّفقَ لا يَكُونُ في شيءٍ إِلَّا زَانَهُ، وَلا يُنْزَعُ مِنْ شَيءٍ إِلَّا شَانَهُ

“Sesungguhnya kelembutan tidaklah berada pada sesuatu kecuali akan membuatnya semakin baik dan tidaklah kelembutan itu dihilangkan dari sesuatu kecuali akan menjadikannya semakin buruk” (HR. Imam Muslim Rahimahullah)

Ia tidak membentak orang yang bersalah dan tidak membuatnya malu. Karena kesalahan pasti terjadi. Maka apabila seorang salah maka tidak dibentak orang yang bersalah dan tidak dibuat minder dan merasa malu diantara teman-temannya dengan perkataan yang menyakitkan, kata-kata yang dapat membuatnya malu, karena metode seperti ini membuat seorang murid/seorang pelajar menjadi tidak suka terhadap ilmu dan pelajaran.

Ia selalu lembut dalam segala urusannya, selalu sabar dalam mengajarkan kebaikan. Ini juga merupakan pilar penting dalam pendidikan. Ketika seorang mengajar, ia harus sabar. Sabar ketika menyampaikan ilmu dan menjelaskannya, juga sabar menghadapi perbedaan di antara orang-orang yang dihadapinya. Karena orang yang tidak mempunyai kesabaran sebenarnya ia tidak bisa menyampaikan tugasnya dengan baik.

Orang yang belajar kepadanya selalu merasa tenang dan selalu merasa senang. Dan orang yang duduk kepadanya merasa senang karena akhlak dia sangat lembut, cara bergaul dia sangat baik, dan ia selalu lembut kepada orang yang duduk kepadanya dan ia selalu berbuat baik kepada mereka.

Duduk dengannya akan memberi manfaat yang sangat banyak. Dan ia pun selalu mengajarkan adab Al-Qur’an dan As-Sunnah kepada orang yang duduk kepadanya. Karena ia sudah beradab dengan adab yang tertera dalam Al-Qur’an dan Sunnah pada dirinya, kemudian ia pun mengajarkan orang lain adab-adab mulia tersebut.

Downlod MP3 Ceramah Agama Tentang Birrul Walidain dan Menyambung Silaturahim

Jangan lupa untuk turut menyebarkan link download kajian ini di media sosial yang Anda miliki, baik itu facebook, twitter, atau yang lainnya. Semoga bisa menjadi pintu kebaikan bagi yang lain. Barakallahu fiikum..

Telegram: t.me/rodjaofficial
Facebook: facebook.com/radiorodja
Twitter: twitter.com/radiorodja
Instagram: instagram.com/radiorodja
Website: www.radiorodja.com

Dapatkan informasi dari Rodja TV, melalui :

Facebook: facebook.com/rodjatvofficial
Twitter: twitter.com/rodjatv
Instagram: instagram.com/rodjatv
Website: www.rodja.tv

Pencarian: hadits tentang birrul walidain, contoh birrul walidain, ayat tentang birrul walidain, keutamaan birrul walidain, kisah birrul walidain, ayat yang berkaitan dengan birrul walidain, pengertian birrul walidain, ayat tentang menyambung silaturahim, fadilah silaturahim, hakikat silaturahim, lafal hadits tentang silaturahim, hadits tentang silaturahim dan persaudaraan, berkah silaturahim, contoh silaturahim


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/48235-birrul-walidain-dan-menyambung-silaturahim/